KYAI LASTAM
Tujuh
puluh tahun usianya sekarang. Kulit sawo matang dengan tatapan mata yang tajam.
Rambutnya masih lebat dan rambut putih tanda usia yang sudah senja tampak
malu-malu tumbuh dikepalanya yang setiap malam hari selalu tertutup oleh kopiah
hitam beludru. Hari demi hari batinya diisi oleh kalimat-kalimat yang
mengagungkan kebesaran Tuhan. Ia adalah kyai desa kami yang setiap malam hari dengan
hati yang tulus mengajari, membimbing, dan menuntunku dan kawan-kawan
sepantaran belajar agama. Sudah 20 tahun
lebih ia mengabdikan dirinya kepada masyarakat, kepada siapa saja yang mau
dengan iklhas belajar ilmu agama. Baginya tidak ada yang lebih mulia di dunia
ini selain terus belajar ilmu agama.
Malam
ini langit terlihat gemerlap. Jutaan bintang memancarkan cahayanya mengihiasi
desa kami. Bulan sabit tak ingin kalah dengan bintang, cahayanya membias di daun-daun
pohon. Suasana masjid ramai oleh para penduduk yang hendak beribadah kepada
Tuhan. Anak-anak kecil saling bermain kejar-kejaran di halaman masjid. Sebentar
lagi sholat isya dimulai. Anak-anak itu seolah tak punya rasa lelah dalam
bermain. Dunia anak-anak memang begitu adanya. Dunia yang selalu dirindukan.
Semua orang pasti merasakan bahwa masa
kecil adalah dunia yang indah, dimana kita selalu ingin kembalikan lagi dalam hidup kita.
Segalanya serba menyenangkan untuk
dikenang , termasuk pengalaman pahit mendera kita sekalipun.
Aku
bersyukur mempunyai kenangan masa kecil yang indah yang tak mungkin terlupakan.
Seolah kenangan itu sudah jadi bagian dari hidupku. Ingatanku masih menyimpan rapi segala kenangan –terutama
saat mengaji bersama kawan-kawan-. Mengaji di masjid pada waktu itu bagiku dan
kawan-kawan adalah sebuah masa dimana jiwa-jiwa kami yang masih polos dan lugu
belajar mengenal ilmu agama. Kata para orang tua, ilmu agama adalah sumbernya
ilmu. Jika kita belajar dengan tekun serta rajin dan memahami ilmu agama, itu
akan menjadi jalan kita sukses dunia dan akhirat. Jalan kebenaran.
*
Semasa
menjadi anak kecil, yang masih dalam perkembangan, aku kadang melakukan
kesalahan dan kenakalan. Bahkan pada saat mengaji sekalipun. Pada saat awal-awal
permulaan mengaji di masjid, aku diberitahu oleh seorang kawan bahwa ada
peraturan yang harus dipatuhi oleh kami para santri masjid. Dan barangsiapa
diantara kami yang melanggar peraturan itu, maka siap-siap menerima hukuman
dari Pak Kyai. Salah satu peraturannya adalah kami dilarang pulang ke rumah
sebelum sholat Isyak berjamaah.
Waktu
terus berputar mengikuti porosnya. Tidak terasa sudah satu bulan sejak aku kali pertama datang untuk
mengaji di masjid aku lalui dengan lancar. Sudah ada berbagai macam ilmu yang
aku dapatkan dari Pak Kyai. Diantaranya ilmu fiqih dan tajwid. Pada suatu malam
minggu itu, setelah giliranku mengaji Al-Quran selesai, seorang kawan mendekat
kearahku. Ripin namanya. Ia sudah lebih dari 2 tahun mengaji di sini, ilmunya
tentu lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedudukan ilmuku. Ternyata Ripin
mengajaku untuk pulang. Dan pulang ke rumah sebelum sholat isya berjamaah
adalah pelanggaran.
“Ayo
ikut aku pulang” bisiknya pada telingaku sebelah kiri “Apa kamu lupa ada
aturan yang melarang pulang sebelum isya” “Masih
kecil jangan jadi penakut” “Pulanglah
sendirian kalau kamu memang berani” Dengan wajah yang dipenuhi dengan
gurat-gurat kekecewaan Ripin berlalu meninggalkanku yang sedang duduk di bawah
bedug besar yang terbuat dari kulit sapi. Konon menurut para sesepuh desa.
Bedug ini sudah berusia ratusan tahun. Kayu yang dibuat untuk tempat bedug ini
juga terbuat dari kayu jati kramat yang berasal dari hutan Wanagalih. Sebelum
kayu jati ditebang, para warga desa melakukan doa bersama meminta keselamatan
kepada Tuhan. Dan setelah ditebang pohonnya, ternyata tidak ada yang roboh.
Pohon jati itu masih tertancap kuat pada bumi. Warga desa percaya bahwa hutan
Wanagalih di jaga oleh mahluk gaib. Untuk menebang pohon yang ada di hutan
harus kulonuwon pada sang danyang.
Dipanggilah seorang Kyai desa bernama
Kyai Umar. Ia terkenal sebagai seorang ahli agama sekaligus pejuang kemerdekaan.
Dan dengan barokah yang dimilikinya, pohon jati kramat dengan mudah tumbang
oleh gergaji.
“Minggir
le, cepat pergi ambil air wudhu.
Sebentar lagi adzan Isya” Suara Mbah Darmo mengagetkanku. Mbah Darmo lah yang
setiap hari memukul bedug pertanda waktu sholah tiba. Ia juga dikenal sebagai
ahli hitung-hitungan kalender jawa di desa kami. Jika ada acara yang
membutuhkan perhitungan kalender jawa, maka ia sering menjadi rujukan warga
desa. Kemampuannya ia dapatkan dari Bapaknya. Dengan komat-kamit dan segenggam
biji jagung kering di tanganya ia menentukan kapan hari dan tanggal selametan desa dan selametan
padi dilakasanakan. Warga desa sangat
menghormatinya.
Pagi
harinya hari minggu dimana kami libur sekolah. Kesempatan baik ini tidak
dilewatkan dengan sia-sia oleh kami. Berangkatlah saya dan seorang kawan
bernama Yudi mencari belut di sawah. Perbekalan kami hanya tali tampar
berdiameter kecil sepanjang 40cm dengan pancing diujungnya. Dan percil sebagai
umpannya. Kami mencari lobang-lobang yang ada dipinggiran tegalan. Di dalam
lubang-lubang itulah belut berada dan tempat kami memasukan pancing. Hiburan
inilah yang sampai saat ini sering aku rindukan.
“Mancing
belut to le ?”
Suara
itu datang dari belakang kami. Tanpa menoleh sedikutpun Yudi menyahut sekenanya
“Lha
iya Pak, mumpung hari libur”. Aku yang berada disebelah Yudi menoleh
kebelakang. Bagaikan dihantam palu godam yang tepat di kepala. Suara tadi
berasal dari mulut Pak Kyai. Ia melempar senyum ke arah kami. Nampak jelas giginya.
“Pak
Kyai pergi ke sawah juga tho”
Kupaksakan mulut ini berucap walau terasa kaku.
“Bekerja
juga bagian dari ibadah. Dan di sawahlah tempat Pak Kyai bekerja mencari ridho
allah”
Pak Kyai pun berlalu hingga nampak
punggungnya dari kejauhan. Sedang aku masih berada di tempat sama. Ternyata
anggapanku selama ini salah. Aku kira seorang Kyai itu kemana-mana pakai baju
taqwa dengan sorban yang mengalung di leher. Dan Kyai tak pernah lepas dari tasbih.
Salah. Barusan aku melihat dengan mata kepala, Pak Kyai bekerja di sawah.
Kepalanya yang setiap malam tertupi oleh kopiah tergantikan oleh capil. Tangan
yang biasanya menggenggam tasbih pagi itu menggenggam pacul.
Malam harinya, seperti malam-malam sebelumnya.
Setelah melaksanakan sholat magrib berjamaah kami mengambil Al-quran
masing-masing. Duduk berjajar rapi di teras masjid. Kemudian seorang kawan
mengawali dengan mengucap salam. Pertanda kegiatan mengaji di mulai. Bacaan
sholat dan surat juz amma menjadi pembuka. Sampai kemudian Pak Kyai duduk di
tengah-tengah kami. Setelah sebelumnya ia menunaikan sholat sunnah. Masjid
dipenuhi lantunan suara ayat suci dari kami. Pak Kyai membimbing kami satu
persatu. Jika ada salah dalam pengucapan, kami dibenarkan, diarahkan. Begitulah
yang terus terjadi sampai selesai. Pada saat tiba giliranku, tak terasa tinggal
menyisahkan 4 orang termasuk aku yang akan tiba giliran membaca di hadapan Pak
Kyai. Waktu sholat isya kurang 3 menit lagi. Mbah Darmo memukul bedug tanda
waktu magrib telah usai berganti waktu isyak. Akhirnya oleh Pak Kyai kami tidak
di suruh meneruskan kegiatan mengaji ini. Kami di suruh langsung masuk ke dalam
masjid.
Keesokan malamnya setelah membaca bacaan sholat dan
surat juz amma kami dikagetkan oleh dua orang dewasa mereka adalah seorang guru
ngaji kami yang baru. Pak Kyai memperkenalkan mereka pada kami semua. Mereka
adalah Pak Ismail dan Pak Zainal. Kedatangannya diharapkan dapat membantu Pak
Kyai. Tapi kami hanya ingin di simak oleh Pak Kyai. Tak ada satupun dari kami
yang melangkahkan kaki kepada dua orang guru baru. Sampai Pak Kyai berucap
“Mereka
datang kesini untuk membimbing kalian. Maka manfaatkanlah kesempatan yang ada”
Dimulailah
pada hari itu kami mempunyai tiga orang
guru ngaji. Dan Pak Kyai masih menjadi guru yang paling kami disenangi.
Ripin
datang ke rumah siang hari saat aku bermain-main dengan mobil-mobilan yang
terbuat dari kayu
“Ada pasar malam di lapangan. Sehabis magrib
kita berangkat melihat” “Tanggung. Kalau mau berangkata sehabis
isya” Ripin terus saja membujukku “Kalo menunggu habis isya aku tak sabar.
Ayo kali ini saja”
Sebenarnya aku juga tak sabar ingin
melihat meriahnya pasar malam. Bobol juga pertahananku. Aku dan Ripin akhirnya
sepakat nanti malam pulang dari masjid sehabis sholat magrib. Rencanapun di
susun. Aku dan Ripin sengaja menaruh sandal di tempat yang kiranya mudah
dijangkau kalau pulang dan tentunya jauh dari pandangan Pak Kyai. Hingga saat
itu tiba, kami mencincing sarung, tangan kiri memegan sandal dan berlari
meninggalkan masjid. Dengan berlari
harapan kami Pak Kyai tidak melihat kami yang dengan sengaja pulang lebih
dahulu. Aiyayaya... dasar memang kami
anak nakal. Bisa di tebak, keesokan malamnya kami berdua di sidang oleh Pak
Kyai dihadapan kawan. Hukuman ada di depan mata.
“Kemarin siapa yang pulang magrib ? Pak
Kyai tidak pernah mengajarkan berbohong pada kalian”
Kami
semua menundukan kepala. Malam itu
begitu terasa dingin. Sedang Ripin hanya berani memejamkan mata. Tak berani
mengakui perbuatannya kemarin malam.
“Saya Pak Kyai bersama Ripin” Keluarlah pengakuan
dari mulutku.
Semua
mata tertuju pada kami. Yang aku takutkan ternyata salah. Pak Kyai tidak marah.
Ia menasehati kami berdua juga kepada kawan-kawan yang lain, agar selalu
menjaga sholat jamaah dan selalu mengingtkan kami bahwa manusia hidup di dunia
ini haruslah pandai-pandai menahan diri dari segala godaan, harus pandai-pandai
menabung, menyiapkan diri, menyiapkan segala-galanya.
Mancing belut di sawah dan kisah
mengaji di masjid yang penuh dengan keriangan adalah masa dimana aku merasakan
keindahan. Waktu dimana saat itu belum mengenal dunia luar yang penuh dengan
ketergesa-gesaan. Suara ikomah membangkitkan aku dari kenangan masa kecil. Di
dalam masjid Pak Kyai sudah bersiap diri menjadi Imam sholat jamaah isya malam
ini. Semangatnya masih membara.
A.Taufiqurrohman
Mahasiswa
Semester
4
STIE
Cendekia
0 Response to "Cerpen ku"
Posting Komentar