MEMORABILIA
Di
kota kami ada 2 hari besar. Hari dimana semua orang merayakannya dengan penuh
suka cita dan kebahagiaan. Ketika hari itu tiba, semua permasalahan sehari-hari
seolah terlupakan. Mulai dari permasalahan rumah tangga, hutang yang menumpuk,
target yang harus diselesaikan dan tentu segala hal yang penuh dengan
ketergesa-gesaan. Dan jika kalian berkunjung ke kota kami, jangan harap kalian
menemukan gedung pencakar langit, jaringan kereta bawah tanah yang modern,
stadion sepakbola yang
besar nan megah, Casino atau semua yang
melambangkan tentang kehidupan malam seperti Lounge, Bar, Diskotik, Pub, juga deretan atau kemilau cahaya
yang indah sepanjang malam. Karena memang, kota kami bukan kota metropolitan. Namun,
jangan kawatir kedatangan
kalian akan kami sambut dengan senang hati.
Hari besar yang pertama adalah
perayaan kelahiran kota kami. Ada banyak tontonan dan perlombaan yang bakal
memeriahkan peringatan hari jadi kota kami pada bulan Oktober. Kalian dapat
menyaksikan meriahnya pawai budaya
yang
diikuti oleh ratusan regu dari tingkat berbagai usia. Dari berbagai penjuru
kota para peserta dan penonton tumplek
bek menyemut di sepanjang jalan. Semua peserta membawa
berbagai macam kostum yang membuat penonton terutaman anak-anak terhibur. Mulai
dari kostum kerajaaan, kostum yang menyerupai hewan, ada juga raja dan ratu
yang diarak mengendarai kereta kencana dengan se-ekor kuda yang dihiasi bunga. Kegiatan ini seolah menunujukan betapa kota kami kaya
akan budaya dan kesenian.
Yang paling dinantikan darai itu semua adalah arak-arakan
replika naga bernama Nogo Rojo.
Replika di usung oleh beberapa orang berpakain prajurit kerajaan.
Konon,
kota kami dahulu adalah sebuah kerajaan besar bernama Malwapati dimana sang
raja Prabu Angling Dharma mempunyai guru yang kesaktiannya tak tertandingi.
Guru itu bernama Nogo Rojo. Masyrakat percaya bahwa sungai besar dan panjang
yang membelah kota kami adalah bekas dimana sang naga dahulu merayap sebelum
akhirnya terbang ke angkasa.
Sampai sekarang kisah itu menjadi
versi folklore di kota kami.
Hampir
setiap hari, selama se-minggu penuh sebelum datangnya perayaan hari besar yang
kedua untuk kota kami, aku selalu menyisihkan uang. Uang ini aku dapatkan dari
kedua orangtua ku sebagai uang saku untuk sekolah. Memang rasanya berat, ketika
sebagian teman sedang membeli es atau mainan saat istirahat aku hanya bisa
duduk di dalam kelas. Kesendirianku di dalam kelas tidak ku gunakan untuk
membaca pelajaran, pikiranku malah melayang jauh. Aku tidak sabar menantikan
hari itu tiba. Hari besar kedua di kota kami.
Aku
harus menabung untuk dapat mengikuti dan menyaksikan perayaan itu. Bagiku
pantang untuk meminta uang kepada Bapak. Sangat mudah bagi Bapak dan bukan
suatu masalah untuk memberiku tambahan uang. Tapi, bukankah selama kita masih bisa
menabung dan menggunakannya untuk keperluan kita sendiri, mengapa harus
membiasakan diri menjadi anak manja!
Teman sekolah ku tahu betul kebiasaanku ini. Mereka sama antusiasnya
dalam menyambut datangnya hari itu. Hari berganti hari. Semua teman ramai
membicarakan tentang pertandingan sepakbola. Bagi aku juga semua warga kota
ini, tidak ada olahraga yang lebih berharga dan bermakna selain sepakbola.
Sepakbola melambangkan segalannya. Sepakbola adalah tentang perjuangan,
pengorbanan, keharmonisan dan yang paling penting adalah kejayaan.
Aku
duduk di kelas 1 SMP dan pada hari Rabu pagi aku dan teman satu kelas ada mata
pelajaran olahraga. Meskipun hanya di jadwalkan satu minggu sekali dan hanya
berlangsung selama 2 jam kami selalu memanfaatkannya dengan baik. Tentu kalian
sudah bisa menebak olahraga apa yang kami pilih. Ya, sepakbola menjadi pilihan
kami. Kami merasa tidak pernah puas bermain sepakbola, padahal setiap sore kami
selalu bermain di lapangan dekat rumah masing-masing. Sepakbola adalah hobi sekaligus
tempat untuk menyalurkan bakat. Dan jika
sudah bermain kami lupa akan segalannya. Kami lupa tentang PR yang harus
dikerjakan, lupa surat-surat al-quran yang harus di hafalkan saat mengaji. Saat
itu yang ada di pikiran kami hanya bermain dan terus bermain dengan penuh
gairah. Aku selalu membayangkan dan pasti semua temanku juga sama dengan ku,
suatu saat bisa menjadi pemain sepakbola dunia. Ahh…Imanjinasi kami memang luar
biasa.
Di
warung depan rumahku, orang-orang yang sedang minum kopi ramai membicarakan
tentang pertandingan sepakbola. Warung itu menjadi tempat berkumpul dan berbagi
segala cerita antar warga. Dengan suara yang penuh keyakinan orang-orang itu
mencoba menebak-nebak jalannya pertandingan, siapa yang akan menjadi pencetak
gol, siapa yang menjadi pecundang dan siapa yang akan membusungkan dada sebagai
pemenang. Dengan daun telinga yang aku buka lebar-lebar, aku terus mendengar
percakapan mereka yang terdengar jelas dari teras rumah. Dari percakapan itu
aku bisa menangkap banyak kisah heroik dari para pemain sepakbola.
Kota
kami mempunyai sebuah klub sepakbola kebanggaan. Dan jika klub kami berlaga di
kandang itu artinya hari besar bagi kota
kami. Kalian tak usah heran, jika pada hari itu kota kami berpesta. Pada usia
13 tahun adalah kali pertama aku merasakan betapa meriahnya perayaan hari besar
kedua di kota kami. Perayaan yang selama ini hanya aku dengar dari orang-orang
dewasa. Sebagai anak yang beranjak dewasa aku merasakan kebahagian yang
meluap-luap, kebahagian itu selalu hinggap di diriku setiap kali mengikuti
perayaan itu.
Adalah
Pak Broto yang mengajakku untuk pertama kali ke stadion. Pak Broto adalah
tetanggaku, ia terkenal sebagai orang yang bermurah hati kepada siapapun
terlebih kepada anak-anak. Kebiasaan Pak Broto yang aku ketahui lainnya adalah
ia sering minum di warung kopi depan rumahku. Hampir setiap hari aku melihatnya berada di
warung kopi dan Pak Broto tidak pernah lepas dari kretek. Saat itu ia keluar
dari warung dengan senyum lebar, giginya tampak jelas terlihat. Pasti tersenyum
karena hari itu adalah hari besar kota kami. Pikirku coba menebak. Pak Broto
mendekat ke arah ku. Aku masih duduk di teras.
“Ayo ikut ke stadion”
Saat itu aku langsung mengikuti perintahnya, tanpa
pikir panjang. Di boncengnya aku dengan sepeda motornya.
Butuh
waktu 15 menit untuk tiba di stadion. Eh, salah. 15 menit adalah waktu normal,
jika hari besar itu datang bisa 30 menit perjalanan. Sepanjang perjalanan, di
setiap gang, pertigaan dan perempatan jalan terdapat kerumunan para pemuda.
Mereka membawa berbagai macam bendera dengan tulisan yang berbeda-beda. Tapi,
ada satu kesamaan dari mereka yaitu semua menggunakan pakaian berwarna jingga.
Saat di tengah jalan, dari kejauhan aku melihat gerombolan pemuda itu
menghadang sebuah truk. Ketika sopir menghentikan truk nya, tiba-tiba
gerombolan pemuda tadi langsung menaikinya. Di dalam bak truk mereka
berjingkrak sambil menyayi. Saat itulah aku mengerti bahwa ada banyak jalan
menuju stadion. Salah satu nya dengan menyegat truk atau kami biasa menyebutnya mbatang.
Konvoi
kendaraan sepeda motor memenuhi jalan menuju stadion. Jalanan berubah menjadi
warna jingga. Jingga menjadi warna klub kota kami. Jingga menjadi identitas
yang mengiringi perjalanan hidup klub. Bus yang setiap harinya menjadi raja
jalanan tak berdaya menghadapi kami para supporter. Bus menepi di pinggir
jalan, menyilahkan kami lewat lewat. Hari itu kami menguasai jalanan kota.
Di depan
stadion ribuan suporter dari berbagai penjuru berdatangan dari empat arah mata
angin. Puluhan pedagang yang membawa
botol minuman melambaikan tangan kepada para supporter, mereka mewarkan barang
dagangan. Seorang pembeli terlihat menawar harga baju sepakbola. Baju seragam
sepakbola klub kebanggan kota kami. Juru parkir dengan peluit yang mengalung di
lehernya menata sepeda motor milik suporter. Para calo dengan tiket di
tangannya mendatangi dan merayu semua orang yang ada di dekatnya. Antrian di
loket karcis seperti ular, panjang betul antriannya. Entah kapan aku tak tahu,
tiba-tiba di tangan Pak Broto sudah tergenggam tiket masuk. Apakah Ia membeli
dari calo tadi ? Ah….itu tak penting bagiku. Yang penting adalah aku bisa masuk
ke stadion. Suatu angan yang akhirnya sudah di depan mata.
Suasana
di dalam stadion penuh sesak. Ketika aku sudah mendapat tempat duduk suara
supporter yang berapi-api terus menggema. Sejenak aku berdiri dari tempatku.
Bola mata ku bergerak ke kanan ke kiri. Aku berusaha melihat situasi yang baru
kali pertama aku rasakan. Pedagang rokok dan permen berdiri di sebelah pintu
masuk stadion, menyambut datangnya supporter. Terlihat ia sedang melayani
seorang laki-laki yang sudah tampak tua, ia datang menonton dengan anak yang
usianya aku taksir 10 tahun. Mungkin anak itu ada;ah cucunya. Pelajar sekolah
yang seragamnya masih menempel di badan sibuk mencari tempat duduk yang masih
kosong. Pekerja kantor dengan pakaian rapi duduk di tribun utama, tempatku
berdiri. Nampaknya ia meninggalkan sejenak pekerjaannya untuk ikut merayakan
hari besar ini. Seorang anak sedang di pangkuan ayah nya, bibir anak itu di
penuhi saos merah. Tidak salah lagi, ia pasti baru saja makan Lumpia.
Pengalaman pertama menjadi suporter begitu mengesankan karena klub kebanggaan
kami menang meyakinkan atas lawannya. Dan pada hari itu kota kami merayakan
hari besar. Kota kami berpesta. Sejak kejadian itu hampir setiap ada
pertandingan sepakbola aku selalu hadir langsung memberikan dukungan moril
kepada klub kota kami.
Tapi,
itu dulu. Saat aku masih berusia 13 sampai 19
tahun. Sekarang kota kami hanya
mempunyai satu hari besar yakni saat perayaan hari kelahiran kota. Hari besar
tentang perayaan kemenangan klub sepakbola kota kami hanya tinggal cerita tutur
tinular. Waktu terus berjalan. Tetapi, rajutan kenangan indah itu tak bisa
hilang dengan mudah. Sudah 3 tahun lebih klub kebanggan kami tidak berlaga di
stadion yang penuh dengan kisah. Kami sebagai warga kota biasa tak tahu menahu
musabab apa yang mengakibatkan klub kami bisa mati suri. Ya, kami sengaja menyebutnya
dengan mati suri. Sebab dengan mati suri, segala sesuatu yang sudah mati akan
bisa hidup lagi. Entah cepat atau lambat, yang penting bisa hidup kembali.
Amiiin…!
Perjalanan
panjang klub kebanggaan kota kami menyimpan sejuta kenangan bagi pe-cinta-ya. Seluruh
warga kota pasti ingin kembali mengulang masa-masa penuh perjuangan itu.
Meskipun terdapat kenangan pahit sekalipun. Klub itu sudah menjadikan kami
bangga sebagai warga kota. Ia bukan hanya klub sepakbola, lebih dari itu ia
telah menjadi simbol kota kami. Ia menjadi tempat dimana orang-orang melepaskan
sejenak kehidupan yang penuh dengan ketergesa-gesaan. Klub yang bisa menyatukan
masyarakat dari berbagai tingkat golongan atau strata. Itu yang menyebabkan
kerukunan antar warga kota kami selalu terjaga. Aku masih ingat ketika klub
kebanggaan kami meraih gelar juara nasional. Setelah bertarung penuh semangat
selama satu musim kompetisi, tiba akhirnya partai final dan klub kami keluar
sebagai pemenang. Para pemain naik ke panggung kehormatan dengan medali yang
mengalung. Ke esok kan harinya semua orang
menyaksikan iring-iringan klub yang berkeliling kota. Para pemain
menyapa kami, mereka mengangkat tinggi-tinggi piala sebagai simbol sang juara.
Perasaan kami haru tak karuan. Layaknya seorang prajurit perang yang pulang
membawa kemenangan. Mereka di elu-elukan seluruh warga kota. Atas keberhasilan
klub kami menjadi juara mempunyai dampak yang langsung terasa. Semua warga kota
semakin cinta kepada klub. Nama kota kami langsung menjulang tinggi, Ah….Indahnya saat itu.
Tidak
semua kenangan tentang klub kebanggan kota kami berakhir manis. Pernah suatu
kali klub kami kalah bertanding. Dan itu merupakan sebuah hal yang jamak dalam
sebuah olahraga. Tapi biarpun kalah, selama klub kami berjuang ia tak kan
menyerah. Karena aku yakin kalian pasti
mengerti, antara kalah dan menyerah adalah hal yang jauh berbeda.
Kami
harus menghidupkan kembali semua kenangan indah itu, menjadi nyata. Bagi kami
merawat kenangan tidaklah cukup.
AYO BANGUN PERSIBO!
Selamat ulang tahun Persibo Bojonegoro yang ke-67.
21 Feb 2016 09:53 PM
0 Response to "Cerpen dalam rangka ulangtahun Persibi ke-67"
Posting Komentar