Cerpen dalam rangka ulangtahun Persibi ke-67

Setiap tahun pada bulan Maret, Persibo memperingati hari kelahirannya. Sebagai Boro Mania tentu aku ikut merayakannya. Dengan membuat cerpen inilah cara ku merayakannya. Dalam waktu 1 hari aku sudah menyelesaikan cerpen ku ini. Isi dari cerpen ini adalah tentang kenangan dan juga harapan untuk Persibo. Iseng-iseng aku kirim ke e-mail Radar Bojonegoro. Eee...ndilalah dimuat pada edisi Minggu 28 Februari 2016. SALAM OLAHRAGA

                                                          
                                                            MEMORABILIA
            
   Di kota kami ada 2 hari besar. Hari dimana semua orang merayakannya dengan penuh suka cita dan kebahagiaan. Ketika hari itu tiba, semua permasalahan sehari-hari seolah terlupakan. Mulai dari permasalahan rumah tangga, hutang yang menumpuk, target yang harus diselesaikan dan tentu segala hal yang penuh dengan ketergesa-gesaan. Dan jika kalian berkunjung ke kota kami, jangan harap kalian menemukan gedung pencakar langit, jaringan kereta bawah tanah yang modern, stadion sepakbola yang besar nan megah, Casino atau semua yang melambangkan tentang kehidupan malam seperti Lounge, Bar, Diskotik, Pub, juga deretan atau kemilau cahaya yang indah sepanjang malam. Karena memang, kota kami bukan kota metropolitan. Namun, jangan kawatir kedatangan kalian akan kami sambut dengan senang hati.
            Hari besar yang pertama adalah perayaan kelahiran kota kami. Ada banyak tontonan dan perlombaan yang bakal memeriahkan peringatan hari jadi kota kami pada bulan Oktober. Kalian dapat menyaksikan meriahnya pawai budaya yang diikuti oleh ratusan regu dari tingkat berbagai usia. Dari berbagai penjuru kota para peserta dan penonton tumplek bek menyemut di sepanjang jalan. Semua peserta membawa berbagai macam kostum yang membuat penonton terutaman anak-anak terhibur. Mulai dari kostum kerajaaan, kostum yang menyerupai hewan, ada juga raja dan ratu yang diarak mengendarai kereta kencana dengan se-ekor kuda yang dihiasi bunga. Kegiatan ini seolah menunujukan betapa kota kami kaya akan budaya dan kesenian.
            Yang paling dinantikan darai itu semua adalah arak-arakan replika naga bernama Nogo Rojo. Replika di usung oleh beberapa orang berpakain prajurit kerajaan. Konon, kota kami dahulu adalah sebuah kerajaan besar bernama Malwapati dimana sang raja Prabu Angling Dharma mempunyai guru yang kesaktiannya tak tertandingi. Guru itu bernama Nogo Rojo. Masyrakat percaya bahwa sungai besar dan panjang yang membelah kota kami adalah bekas dimana sang naga dahulu merayap sebelum akhirnya terbang ke angkasa. Sampai sekarang kisah itu menjadi  versi  folklore di kota kami.
            Hampir setiap hari, selama se-minggu penuh sebelum datangnya perayaan hari besar yang kedua untuk kota kami, aku selalu menyisihkan uang. Uang ini aku dapatkan dari kedua orangtua ku sebagai uang saku untuk sekolah. Memang rasanya berat, ketika sebagian teman sedang membeli es atau mainan saat istirahat aku hanya bisa duduk di dalam kelas. Kesendirianku di dalam kelas tidak ku gunakan untuk membaca pelajaran, pikiranku malah melayang jauh. Aku tidak sabar menantikan hari itu tiba. Hari besar kedua di kota kami.
            Aku harus menabung untuk dapat mengikuti dan menyaksikan perayaan itu. Bagiku pantang untuk meminta uang kepada Bapak. Sangat mudah bagi Bapak dan bukan suatu masalah untuk memberiku tambahan uang. Tapi, bukankah selama kita masih bisa menabung dan menggunakannya untuk keperluan kita sendiri, mengapa harus membiasakan diri menjadi anak manja!  Teman sekolah ku tahu betul kebiasaanku ini. Mereka sama antusiasnya dalam menyambut datangnya hari itu. Hari berganti hari. Semua teman ramai membicarakan tentang pertandingan sepakbola. Bagi aku juga semua warga kota ini, tidak ada olahraga yang lebih berharga dan bermakna selain sepakbola. Sepakbola melambangkan segalannya. Sepakbola adalah tentang perjuangan, pengorbanan, keharmonisan dan yang paling penting adalah kejayaan.
            Aku duduk di kelas 1 SMP dan pada hari Rabu pagi aku dan teman satu kelas ada mata pelajaran olahraga. Meskipun hanya di jadwalkan satu minggu sekali dan hanya berlangsung selama 2 jam kami selalu memanfaatkannya dengan baik. Tentu kalian sudah bisa menebak olahraga apa yang kami pilih. Ya, sepakbola menjadi pilihan kami. Kami merasa tidak pernah puas bermain sepakbola, padahal setiap sore kami selalu bermain di lapangan dekat rumah masing-masing. Sepakbola adalah hobi sekaligus tempat untuk menyalurkan bakat.  Dan jika sudah bermain kami lupa akan segalannya. Kami lupa tentang PR yang harus dikerjakan, lupa surat-surat al-quran yang harus di hafalkan saat mengaji. Saat itu yang ada di pikiran kami hanya bermain dan terus bermain dengan penuh gairah. Aku selalu membayangkan dan pasti semua temanku juga sama dengan ku, suatu saat bisa menjadi pemain sepakbola dunia. Ahh…Imanjinasi kami memang luar biasa.
            Di warung depan rumahku, orang-orang yang sedang minum kopi ramai membicarakan tentang pertandingan sepakbola. Warung itu menjadi tempat berkumpul dan berbagi segala cerita antar warga. Dengan suara yang penuh keyakinan orang-orang itu mencoba menebak-nebak jalannya pertandingan, siapa yang akan menjadi pencetak gol, siapa yang menjadi pecundang dan siapa yang akan membusungkan dada sebagai pemenang. Dengan daun telinga yang aku buka lebar-lebar, aku terus mendengar percakapan mereka yang terdengar jelas dari teras rumah. Dari percakapan itu aku bisa menangkap banyak kisah heroik dari para pemain sepakbola.
            Kota kami mempunyai sebuah klub sepakbola kebanggaan. Dan jika klub kami berlaga di kandang itu artinya  hari besar bagi kota kami. Kalian tak usah heran, jika pada hari itu kota kami berpesta. Pada usia 13 tahun adalah kali pertama aku merasakan betapa meriahnya perayaan hari besar kedua di kota kami. Perayaan yang selama ini hanya aku dengar dari orang-orang dewasa. Sebagai anak yang beranjak dewasa aku merasakan kebahagian yang meluap-luap, kebahagian itu selalu hinggap di diriku setiap kali mengikuti perayaan itu.
            Adalah Pak Broto yang mengajakku untuk pertama kali ke stadion. Pak Broto adalah tetanggaku, ia terkenal sebagai orang yang bermurah hati kepada siapapun terlebih kepada anak-anak. Kebiasaan Pak Broto yang aku ketahui lainnya adalah ia sering minum di warung kopi depan rumahku.  Hampir setiap hari aku melihatnya berada di warung kopi dan Pak Broto tidak pernah lepas dari kretek. Saat itu ia keluar dari warung dengan senyum lebar, giginya tampak jelas terlihat. Pasti tersenyum karena hari itu adalah hari besar kota kami. Pikirku coba menebak. Pak Broto mendekat ke arah ku. Aku masih duduk di teras.
“Ayo ikut ke stadion”
Saat itu aku langsung mengikuti perintahnya, tanpa pikir panjang. Di boncengnya aku dengan sepeda motornya.
            Butuh waktu 15 menit untuk tiba di stadion. Eh, salah. 15 menit adalah waktu normal, jika hari besar itu datang bisa 30 menit perjalanan. Sepanjang perjalanan, di setiap gang, pertigaan dan perempatan jalan terdapat kerumunan para pemuda. Mereka membawa berbagai macam bendera dengan tulisan yang berbeda-beda. Tapi, ada satu kesamaan dari mereka yaitu semua menggunakan pakaian berwarna jingga. Saat di tengah jalan, dari kejauhan aku melihat gerombolan pemuda itu menghadang sebuah truk. Ketika sopir menghentikan truk nya, tiba-tiba gerombolan pemuda tadi langsung menaikinya. Di dalam bak truk mereka berjingkrak sambil menyayi. Saat itulah aku mengerti bahwa ada banyak jalan menuju stadion. Salah satu nya dengan menyegat truk atau  kami biasa menyebutnya mbatang.
            Konvoi kendaraan sepeda motor memenuhi jalan menuju stadion. Jalanan berubah menjadi warna jingga. Jingga menjadi warna klub kota kami. Jingga menjadi identitas yang mengiringi perjalanan hidup klub. Bus yang setiap harinya menjadi raja jalanan tak berdaya menghadapi kami para supporter. Bus menepi di pinggir jalan, menyilahkan kami lewat lewat. Hari itu kami menguasai jalanan kota.
            Di depan stadion ribuan suporter dari berbagai penjuru berdatangan dari empat arah mata angin. Puluhan pedagang  yang membawa botol minuman melambaikan tangan kepada para supporter, mereka mewarkan barang dagangan. Seorang pembeli terlihat menawar harga baju sepakbola. Baju seragam sepakbola klub kebanggan kota kami. Juru parkir dengan peluit yang mengalung di lehernya menata sepeda motor milik suporter. Para calo dengan tiket di tangannya mendatangi dan merayu semua orang yang ada di dekatnya. Antrian di loket karcis seperti ular, panjang betul antriannya. Entah kapan aku tak tahu, tiba-tiba di tangan Pak Broto sudah tergenggam tiket masuk. Apakah Ia membeli dari calo tadi ? Ah….itu tak penting bagiku. Yang penting adalah aku bisa masuk ke stadion. Suatu angan yang akhirnya sudah di depan mata.
            Suasana di dalam stadion penuh sesak. Ketika aku sudah mendapat tempat duduk suara supporter yang berapi-api terus menggema. Sejenak aku berdiri dari tempatku. Bola mata ku bergerak ke kanan ke kiri. Aku berusaha melihat situasi yang baru kali pertama aku rasakan. Pedagang rokok dan permen berdiri di sebelah pintu masuk stadion, menyambut datangnya supporter. Terlihat ia sedang melayani seorang laki-laki yang sudah tampak tua, ia datang menonton dengan anak yang usianya aku taksir 10 tahun. Mungkin anak itu ada;ah cucunya. Pelajar sekolah yang seragamnya masih menempel di badan sibuk mencari tempat duduk yang masih kosong. Pekerja kantor dengan pakaian rapi duduk di tribun utama, tempatku berdiri. Nampaknya ia meninggalkan sejenak pekerjaannya untuk ikut merayakan hari besar ini. Seorang anak sedang di pangkuan ayah nya, bibir anak itu di penuhi saos merah. Tidak salah lagi, ia pasti baru saja makan Lumpia. Pengalaman pertama menjadi suporter begitu mengesankan karena klub kebanggaan kami menang meyakinkan atas lawannya. Dan pada hari itu kota kami merayakan hari besar. Kota kami berpesta. Sejak kejadian itu hampir setiap ada pertandingan sepakbola aku selalu hadir langsung memberikan dukungan moril kepada klub kota kami.
            Tapi, itu dulu. Saat aku masih berusia 13 sampai 19  tahun. Sekarang  kota kami hanya mempunyai satu hari besar yakni saat perayaan hari kelahiran kota. Hari besar tentang perayaan kemenangan klub sepakbola kota kami hanya tinggal cerita tutur tinular. Waktu terus berjalan. Tetapi, rajutan kenangan indah itu tak bisa hilang dengan mudah. Sudah 3 tahun lebih klub kebanggan kami tidak berlaga di stadion yang penuh dengan kisah. Kami sebagai warga kota biasa tak tahu menahu musabab apa yang mengakibatkan klub kami bisa mati suri. Ya, kami sengaja menyebutnya dengan mati suri. Sebab dengan mati suri, segala sesuatu yang sudah mati akan bisa hidup lagi. Entah cepat atau lambat, yang penting bisa hidup kembali. Amiiin…!
            Perjalanan panjang klub kebanggaan kota kami menyimpan sejuta kenangan bagi pe-cinta-ya. Seluruh warga kota pasti ingin kembali mengulang masa-masa penuh perjuangan itu. Meskipun terdapat kenangan pahit sekalipun. Klub itu sudah menjadikan kami bangga sebagai warga kota. Ia bukan hanya klub sepakbola, lebih dari itu ia telah menjadi simbol kota kami. Ia menjadi tempat dimana orang-orang melepaskan sejenak kehidupan yang penuh dengan ketergesa-gesaan. Klub yang bisa menyatukan masyarakat dari berbagai tingkat golongan atau strata. Itu yang menyebabkan kerukunan antar warga kota kami selalu terjaga. Aku masih ingat ketika klub kebanggaan kami meraih gelar juara nasional. Setelah bertarung penuh semangat selama satu musim kompetisi, tiba akhirnya partai final dan klub kami keluar sebagai pemenang. Para pemain naik ke panggung kehormatan dengan medali yang mengalung. Ke esok kan harinya semua orang  menyaksikan iring-iringan klub yang berkeliling kota. Para pemain menyapa kami, mereka mengangkat tinggi-tinggi piala sebagai simbol sang juara. Perasaan kami haru tak karuan. Layaknya seorang prajurit perang yang pulang membawa kemenangan. Mereka di elu-elukan seluruh warga kota. Atas keberhasilan klub kami menjadi juara mempunyai dampak yang langsung terasa. Semua warga kota semakin cinta kepada klub. Nama kota kami langsung menjulang tinggi,                 Ah….Indahnya saat itu.
            Tidak semua kenangan tentang klub kebanggan kota kami berakhir manis. Pernah suatu kali klub kami kalah bertanding. Dan itu merupakan sebuah hal yang jamak dalam sebuah olahraga. Tapi biarpun kalah, selama klub kami berjuang ia tak kan menyerah. Karena   aku yakin kalian pasti mengerti, antara kalah dan menyerah adalah hal yang jauh berbeda.
            Kami harus menghidupkan kembali semua kenangan indah itu, menjadi nyata. Bagi kami merawat kenangan tidaklah cukup.
AYO BANGUN PERSIBO!
Selamat ulang tahun Persibo Bojonegoro yang ke-67.

21 Feb 2016 09:53 PM

0 Response to "Cerpen dalam rangka ulangtahun Persibi ke-67"

Posting Komentar